Selasa, 08 April 2014

Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the Two Countries in the Western Part of the Strait of Singapore


Baru-baru ini Indonesia menerbitkan UU No.4 Tahun 2010 Tentang Pengesahan perjanjian antara republik Indonesia dan republik Singapura terkait penetapan garis-garis batas laut wilayah kedua negara di bagian barat Selat Singapura keluarnya peraturan ini jadi angin segar bagi Idonesia, guna menindaklanjuti kepastian hukum perbatasan kedua Negara tersebut.

Undang-undang berjudul "Treaty Between The Republic   of Indonesia and The Republic of Singapore Relating to The Delimitation of Territorial Seas of The Two Countries in The Western Part of The Strait of Singapore"  disahkan pada 22 Juni 2010, berisi pengesahan perjanjian diplomatik. Traktat ini merupakan kelanjutan perjanjian Bilateral yang telah disahkan terlebih dahulu pada 25 Mei 1973.

Perjanjian Bilateral 1973 berisi penentuan garis batas laut wilayah Indonesia dan Singapura berdasarkan Hukum International, dimana tata cara penetapan batas maritim diatur dalam konvensi hukum laut (Konvensi Hukla) 1982, dan Indonesia dan Singapura terikat dengan Konvensi tersebut (Hukla Convention).

Didalam Konvensi Hulka menyebutkan, dalam menentukan garis batas laut wilayah ini, Indonesia menggunakan referensi titik dasar (basepoint) Indonesia di Pulau Nipa serta garis pangkal kepulauan Indonesia (Archipelagic Baseline), yang ditarik dari pulau Nipah ke pulau karimun besar, dalam garis pangkal tersebut kepulauan adalah garis negara pangkal kepulauan yang dicantumkan dalam Peraturan  Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002, sebagaimana telah diperbaharui dalam Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 2008.

Dibuatnya UU No.2/2010 pada prinsipnya memberikan keuntungan dari berbagai aspek seperti untuk memudahkan pengawasan, penegakan kedaulatan negara di luar wilayah, menjamin keselamatan jalur navigasi di selat Singapura dan menjaga hubungan baik kedua Negara.

Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa perjanjian ini hanya memprioritaskan batas laut saja, tidak serta merta dengan wilayah udara Indonesia khususnya daerah yang berbatasan dengan Singapura, seperti wilayah Udara Batam yang saat ini masih dikontrol oleh Singapura, dimana Wilayah Batam sering mengalami miskomunikasi jalur penerbangan Indonesia-Singapura, bahk

an sebagian wilayah Udara Indonesia tersebut diduduki oleh Dinas Perhubungan Singapura FIR (Flight Information Region) untuk digunakan untuk pelayanan lalu lintas udara dimana tindakan tersebut sangat bertentangan dengan UU Pasal 6 No.01/2009 tentang penerbangan.

 Ratifikasi perjanjian Militer OFTAR (Overland Flying Training Area Range) dalam "Defense Cooperation Agreement" atau perjanjian kerja sama pertahanan dan keamanan antara Indonesia-Singapura juga bisa dimungkinkan menjadi unsur kendala pelaksanaan UU No.04/2010, pasalnya dalam perjanjian tersebut angkatan bersenjata Singapura berhak menggunakan sebagian wilayah perbatasan untuk latihan militernya, tak hanya itu perjanjian MTA (Military Training Area) yang diratifikasi oleh Indonesia dan Singapura pada 1995 masih berlaku, MTA menyatakan, Singapura berhak menggunakan perairan Tanjung Pidang dan Laut Cina Selatan untuk keperluan militernya, ini menyebabkan kekaburan batas laut Indonesia-Singapura.

Berbagai pertentangan perjanjian lainnya dan peraturan Indonesia dengan UU No.04/2010 mengharuskan pemerintah Indonesia mengkaji lebih dalam masalah perbatasan untuk kemungkinan terburuk dimasa yang akan datang serta mengkoreksi perjanjian dengan singapura terkait perbatasan baik itu tentang garis batas laut maupun wilayah Udara yang nantinya dijadikan peraturan tunggal perbatasan kedua negara. dimana tidak hanya batas laut saja yang mendapatkan kepastian hukum, tapi udara dan ruang angkasa negara ini perlu mendapatkan perlindungan regulasi pemerintah. sehingga jika ini sudah final dimana permasalahan kedua negara ini bisa diselesaikan secara Bilateral dalam bingkai G2G (Goverment to Goverment) maka kita mengharapkan pada pemerintahan saat ini untuk juga meratifikasi perjanjian dan permasalahan perbatasan baik Laut. Udara dan Tanah dengan Malaysia, Timur Leste dan Papua New Guinea.

0 komentar :

Posting Komentar